puisi sebagai alat anti penindasan

melawan sepanjang napas puisi

Yang Muda Yang Berlawan Juli 28, 2009

Filed under: Uncategorized — herilatief @ 10:27 pm

gerakan mahasiwa jaman kita
dulu cuma punya semangat
menebar berita tanah airmu

pameran penindasan pabrik intrik
kesadisan cecunguk bayaran rejim

intimidasi penguasa istana drakula
kita lawan dengan ide yang berlawan

gerakan sangar akar rumput liar
tetap ada dan tak pernah punah
menyebar dalam urat darahmu

musuh yang kemarin sekarang sama
majulah kawan janganlah diam!

Amsterdam, 20/07/2009

 

20 Responses to “Yang Muda Yang Berlawan”

  1. selamat sore pak Heri, saya senang ketemu blog ini, puisinya banyaakk haha, dan inspiratif buat saya. salam kenal pak!

  2. ibnulasimi Says:

    Antara Yang Berlawan dan Berkawan

    Menatap ke depan jauh menerawang
    Antara lamunan dan kenyataan
    Yang muda penuh gelora, idealisme dan cita-cita
    Menelusuri rimba kehidupan, menyisir semak kemunafikan
    Antara yang berkawan dan berlawan

  3. Salam knl bung arif
    Puisinya heroik
    thanks ijin kopi buat baca-2 ya

  4. anes Says:

    Om! ko tak kunjung datang puisi puisi terbarunya?

  5. anes Says:

    om! kok berhenti postingnya, lagi cuti ya om?
    tolong ajari kami menjatuhkan tiran!

  6. alin aun Says:

    Wah,.. ini aku suka banget sama yang ini!! Mahasiswa banget! Kalo sempet,. main-main ke blogku juga, ya! emangs ih biasa aja.. Tapi kalo boleh aku mau nge link blog ini ke blogku, ya!

    Thanx, ya!! Hidup Blog Indonesia!

  7. Rindu Says:

    Jarang di update yah blognya mas 🙂

  8. namun sayang…gerakan perlawanan sejati yang di impikan tak ubahnya busa ditergent yang membuih besar tapi sekali siram langsung habis…
    atau seperti pak pos yang hanya menyampaikan pesan orang yang membayar……….
    tapi ku yakin akan tiba saatnya perlawan sejati dari para si suci berdarah dagingkan perjuangan hakiki…….semoga……..

    DIAM ADALAH KEBUN KEDUSTAAN

  9. hamdani Says:

    gerakan mahasiwa jaman kita
    dulu cuma punya semangat
    menebar berita tanah airmu

    pameran penindasan pabrik intrik
    kesadisan cecunguk bayaran rejim

    intimidasi penguasa istana drakula
    kita lawan dengan ide yang berlawan

    gerakan sangar akar rumput liar
    tetap ada dan tak pernah punah
    menyebar dalam urat darahmu

    musuh yang kemarin sekarang sama
    majulah kawan janganlah diam!

  10. hamdani Says:

    eorang otomotif berkata Pembakaran yang terjadi pada ruang bakar sebuah mesin, terjadi melalui beberapa proses. Bahan bakar harus mengalami penguapan agar bisa bercampur dengan oksigen yang ada di udara. Sebagaimana diketahui bahwa proses penguapan ini adalah proses perubahan zat cari menjadi zat gas. Pada kenyataannya sebuah zat memiliki titik didih agar terjadi penguapan, yang nilainya berbeda-beda. Misalnya air murni dalam kondisi tekanan udara 1 atmosfir, titik didih air tsb adalah 100 degC. Sedangkan titik didih Methanol sekitar 69 degC. Itu menunjukkan bahwa setiap zat yang murni ( tunggal ), memiliki titik didih yang tersendiri.

  11. hamdani Says:

    Wacana Pemekaran Wilayah

    Persoalan pemekaran wilayah seakan menjadi trend dalam memahami konsepsi otonomi daerah. Pasca reformasi, euforia kedaulatan daerah termanifestasi lewat pembentukan kabupaten/kota maupun provinsi baru. Dalam fakta empiris, rezim Orde Baru terutama, memang menerapkan apa yang diistilahkan dengan pendekatan sentralistis (segalanya terpusat dari Jakarta). Semua hasil dan potensi sumber daya alam daerah dikeruk dan diperuntukkan (kenyataannya) bagi segelintir elit di Jakarta.

    Pola kebijakan sentralistis tersebut kemudian menimbulkan resistansi, terutama dari elit-elit lokal yang merasa hak dan kewenangannya ”terbonsaikan”. Sehingga, otonomi daerah sebagai pemikiran dan sistem dirasa lebih bermartabat dan mampu mengakomodir kepentingan lokal (baca: daerah). Akhir yang terjadi, setiap kelompok masyarakat mengkonsolidir diri, membentuk pemerintahan baru. Sama sekali terpisah, baik dari administrasi pemerintahan maupun fakta geografis. Suatu daerah kemudian pecah dan terbagi menjadi beberapa daerah yang lebih kecil.

    Secara konsepsi, pemerintah kabupaten/kota memegang peranan yang jauh lebih strategis dan sekaligus mendasar tentang mekanisme manajemen pemerintahan. Hal ini terutama karena secara legal formil, desentralisasi, dalam artian perumusan dan penyelenggaraan kebijakan murni kreasi daerah, tanpa intervensi pusat (lihat UU.32/2004).

    Dalam konteks seperti inilah, perdebatan menyangkut pemekaran wilayah Kabupaten Bima menemukan relevansinya. Wacana ini terus bergulir, direspon, dan ditindaklanjuti lewat berbagai aksi nyata menuju praksisme pemerintahan baru. Penulis, sedikit banyak terlibat dalam proses tersebut, dan pun diskursus ini bukanlah lagi sekadar wacana, namun semakin menggelinding menjadi nyata. Demikianlah adanya.

    Analisis Dialektik

    Pasca pemisahan antara Kabupaten dan Kota Bima pada tahun 2001 lalu, praktis wilayah kabupaten terbagi secara geografis, antara timur dan barat, dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Apalagi dengan keluarnya PP.No.10/2008 yang menyatakan pemindahan ibukota kabupaten dari Kota Bima ke wilayah Kecamatan Woha, asumsi bahwa pelayanan administratif akan semakin sulit dan lambat, semakin menjadi momok yang harus terjadi. Dengan kata lain, terdapat legitimasi geografis berdampak administratif, terutama untuk masyarakat yang tinggal di kabupaten kawasan timur.

    Perlunya terobosan kebijakan menyangkut permasalahan administrasi semakin esensial sifatnya. Entah melalui pembentukan kabupaten yang baru (Bima Timur), ataupun otonomi lebih luas kepada pemerintah kecamatan di daerah terjauh, hanyalah alternatif saja. Inti yang perlu ditegaskan adalah pelayanan kepada rakyat jangan sampai terabaikan. Dengan konstruksi berpikir demikian, analisis lebih lanjut mengenai dua alternatif di atas menjadi mutlak untuk dilakukan.

    Suatu hukum sejarah, alternatif harus diambil, dengan segala konsekuensinya. Tentunya, alternatif yang diprediksi lebih baik. Pembentukan Bima Timur memang opsi yang jauh lebih menarik, cenderung berkeadilan, dan yang paling penting, tidak menimbulkan dampak masa depan, utamanya dengan Bima bagian barat. Sekiranya Bima Timur terbentuk, manajemen pemerintahan sepenuhnya menjadi kewenangan birokrasi baru. Kabupaten Bima (bagian barat) dapat menjalankan roda pemerintahannya sendiri. Dan Bima Timur pun berjalan dengan kebijaksanaannya sendiri, tanpa ada campur tangan diantara keduanya. Konflik dan pertentangan opini tak perlu terjadi. Beda kiranya jika sekadar pemberian otonomi-walaupun dalam skala luas-yang rawan konflik kepentingan. Takaran keadilan sungguhlah sulit diterka, terutama menyangkut pengelolaan hasil alam.

    Dialektik selanjutnya adalah persoalan representasi politik. Walaupun penulis sebenarnya tak mau terjebak pada politisasi isu, namun representasi politik kerap menjadi persoalan yang sensitif, sensual dan begitu menggoda. Mau tidak mau, suka tidak suka, keadilan aspiratif tetap menjadi persoalan klasik yang harus dibahas.

    Sejatinya, pemekaran wilayah bersifat desentralistis, termasuk dalam hal pembagian pos-pos kekuasaan strategis. Resistansi kepentingan menjadi keharusan yang pasti terjadi. Dalam konteks ini, etnosentrisme geografis akan tetap mewarnai proses perumusan kebijakan. Pembangunan infrastruktur dan orientasi kebijakan secara menyeluruh akan tetap mengacu pada keberasalan (wilayah) dari sang perumus kebijakan itu sendiri. Akibatnya, ketimpangan pembangunan menjadi suatu kemestian. Dan konflik pun tak terhindarkan. Sungguh resiko yang terlalu berat rasanya.

    Lalu Apa?

    Bersandar pada rumusan dan penjelasan sebelumnya, kecenderungan perlunya pembentukan kabupaten yang baru layaknya menjadi wacana bersama yang perlu dikonkretkan. Namun penulis merasa, persoalan tak berhenti sampai disitu. Sudah menjadi tugas seluruh masyarakat, terutama kaum (muda) intelektualnya menganalisis diskursus ini dengan standar objektif dan pemikiran yang realistis.

    Menghindari wacana yang sekadar politis sifatnya dan miskin substansi, penulis melihat ada empat langkah strategis yang perlu dilakukan menyongsong pembentukan Kabupaten Bima Timur. Pertama, Perubahan pola pikir dan pola tindak masyarakat. Dalam wilayah hasil pemekaran, tentunya akan terjadi transformasi corak wilayah, dari yang sebelumnya bercorak pedesaan-tradisional menjadi urban-perkotaan. Konsekuensi logisnya adalah terjadi alih profesi masyarakat. Persawahan akan menjadi areal gedung-gedung pemerintahan dan para petani akan kehilangan profesi asalnya. Jangan sampai terjadi anakronisme dalam persoalan profesi ini. Karena jika tidak, kekagetan budaya (shock culture) akan menjadi konflik kultural tak berkesudahan. Tugas seluruh masyarakat untuk sama-sama menyiapkan mental dan fisik guna menyambut realisasi Bima Timur ini.

    Kedua, Pembangunan infrastruktur dan beragam hal yang diperlukan oleh sebuah kabupaten harus terus digalakkan. Faktor kemampuan ekonomi, sosial politik, dan faktor penunjang lainnya menjadi prasyarat terbentuknya kabupaten yang baru (pasal 5 ayat 4 UU.No.32/2004). Persis disinilah, pembangunan secara terus menerus dalam setiap aspek dan lini kehidupan masyarakat menjadi harga mati yang tak mungkin ditawar. Terutama infrastruktur fisik, menjadi orientasi utama yang harus diambil.

    Ketiga, Sosialisasi intens kepada masyarakat yang tercakup dalam (rencana) kabupaten Bima Timur. Menjadi suatu fakta empiris, wacana pemekaran wilayah selalu bersifat elitis yang tak jauh dari atmosfer politik praktis. Oleh karena demikian, adanya kesinambungan gerak antara elit masyarakat dengan massa kebanyakan menjadi suatu keniscayaan. Sungguh tidaklah elok jika realisasi Bima Timur hanya milik kaum elit dan dipaksakan dari atas.

    Niscaya, gerakan itu harus bersifat top-down dan bottom-up sekaligus. Tujuannya adalah terdapat kesamaan irama gerak dan pemberian dukungan penuh kepada elit dalam memperjuangkan Bima Timur. Tiada cara lain, sosialisasi menjadi jalan terbaik dalam menemukan harmonisasi tersebut.

    Keempat, gerakan massa menjadi langkah alternatif selanjutnya. Tekanan kepada pemerintah lewat aksi massa jalanan menjadi langkah lanjutan yang perlu diambil. Tentunya dengan cara yang damai, elegan dan minus anarkisme. Namun, penulis tetap berkeyakinan, aksi massa tetaplah alternatif yang bersifat aksidental, dengan frekuensi yang tak terlalu sering.

    Yang juga perlu penulis katakan, ketiga langkah strategis berupa perubahan pola pikir dan pola tindak masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan sosialisasi intens merupakan pendekatan yang paling logis untuk dilakukan, setidaknya untuk saat-saat sekarang ini. Hal ini karena terbentur kebijakan di tingkat nasional berupa moratorium legislasi pemekaran wilayah, dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Rekomendasi Mendagri (pasal 5 ayat 3 UU.No.32/2004) sulit didapat. Bapak Gamawan Fauzi tegas menyatakan moratorium tersebut.

    Bima Timur terbentuk. Pemerintahan baru tersusun, dan kebijakan berorientasi kerakyatan menjadi nyata adanya. Semua kiranya sepakat bahwa idealnya pemekaran wilayah adalah dari, demi dan untuk rakyat, tanpa kecuali. Derap langkah dan pelaksanaan pemikiran strategis yang taktis sifatnya harus dikondisikan secara optimal dan tepat sasaran.

    • hamdani Says:

      September 2008

      Pada bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day. Biasanya mereka saling mengucapkan “selamat hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih sayang”. Benarkah demikian?


Tinggalkan Balasan ke hamdani Batalkan balasan